Desember 07, 2015

Pendakian Perdana Gunung Lawu, Magetan, Jawa Timur



Magetan adalah sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Timur. Letaknya berada di kaki Gunung Lawu yang berbatasan dengan Solo, Jawa Tengah. Kota ini lah yang jadi tujuan saya pada Agustus 2015 lalu untuk melepas penat dari hingar bingar perkotaan. Selain itu ada maksud lain yang lebih khusus dalam kunjungan saya kali ini, yakni bertemu dengan embah yang dari lebaran tahun lalu nanyain cucunya terus supaya saya datang ke desa. Maksudnya cucunya dia itu Gani yang sekarang cemiwiw sama saya. Hahahahaha… *yaelah.

Namun satu hari sebelum keberangkatan, naas kaki kanan saya dicium ban motor orang saat sedang berputar arah di jalanan yang padat. Cukup lumayan mengiris hati sih mengingat salah satu rencana liburan saya adalah naik ke puncak Gunung Lawu. Walau hanya lecet tapi tetap saja menyulitkan saya untuk berjalan normal.

Sabtu, 15 Agustus 2015 pukul 15.30 WIB, saya berangkat bersama Gani dari Pool Bus Harapan Jaya, Bulak Kapal, Bekasi menuju Magetan. Ini adalah pengalaman pertama saya pulang kampung menggunakan bus, dan not bad lah… Kecuali AC yang terlalu dingin dan makan malam yang terlalu hambar, saya tidak bisa complain tentang apapun lagi. Setelah perjalanan 1 malam, akhirnya saya sampai di Magetan jam 7 pagi. Dengan dijemput mobil pribadi oleh Mahar, sepupu Gani yang ikut dalam pendakian nanti, saya langsung diantar menuju ke kediaman embah di Desa Taji.

Rumah embah ternyata luas, berisi dapur khas pedesaan dengan tungkunya, serta 5 kamar tidur, 2 ruang tv, dan 1 kamar mandi. Halaman depan rumah juga luas, mampu menampung 4 mobil dan ada kolam ikan yang dibuat embah dari terpal. Di seberang jalan terhampar kebun yang luas tempat embah biasa bekerja dan juga sungai yang masih jernih. Coba jelaskan, bagian mana dari rumah ndeso ini yang gak bikin betah? Apalagi ditinggali oleh orang-orang yang ramaaaaaaaah sekali. Dengan tinggal di rumah aja, saya sudah terhibur.
Suasana di Desa Taji
Rencana mendaki gunung memang sudah gencar-gencarnya diperbincangkan jauh hari sebelum kedatangan saya di Magetan. Tadinya saya mengurungkan niat untuk ikut mendaki karena luka di kaki saya masih segar dan hari itu adalah hari kedua saya kedatangan “tamu”. Seems complete right?! Tapi setelah dirundingkan lebih dulu dengan teman-teman mendaki lainnya dari Desa Taji dan yang paling penting saya mendapat restu dari orang tua, saya pun mantap untuk melakukan pendakian perdana saya.

Perlengkapan, kondisi tubuh, cuaca dan kondisi alam adalah beberapa faktor yang mempengaruhi orang mendaki gunung. Tapi bagi saya, doa, niat dan restu dari orang tua adalah faktor paling besar dalam hal ini. Jangan pernah berpikir sombong apalagi berkata dan bersikap tidak sopan di tempat yang asing dan banyak pantangannya seperti hutan dan gunung. Saya percaya hal ini, lah wong gak sopan sama sesama manusia aja bisa berabe apalagi sama makhluk yang gak terlihat? Attitude is important.

Minggu, 16 Agustus 2015, pukul 10.00, kami bersembilan berangkat dari Desa Taji menggunakan motor secara beriringan. Butuh waktu 30-45 menit hingga tiba di titik awal pendakian. Ini cukup unik karena saya mendapati 2 jalur pendakian Gunung Lawu yang terpisah beberapa meter di daerah ini. Cemoro Sewu yang masuk ke daerah Jawa Timur dan Cemoro Kandang yang masuk ke daerah Jawa Tengah. Perbedaan kedua jalur ini terletak pada medan pendakian dan waktu tempuhnya. Waktu yang dibutuhkan untuk mendaki melalui Cemoro Sewu sekitar 6 jam dengan jalur berupa batu bersusun menyerupai tangga yang cukup tinggi. Sedangkan jalur Cemoro Kandang berupa tanah berpasir yang relatif landai yang menyebabkan waktu tempuh lebih lama dibandingkan dengan Cemoro Sewu.

Mempertimbangkan kaki saya yang terluka, teman-teman lain akhirnya mengganti rencana pendakian yang semula melalui Cemoro Sewu menjadi Cemoro Kandang. Selain itu Cemoro Sewu terlihat sudah terlalu penuh oleh para pendaki yang akan naik hari itu juga untuk melakukan upacara kemerdekaan 17 Agustus esoknya yang ditayangkan live di stasiun tv. Cemoro Sewu memang jalur favorit para pendaki karena lebih cepat dan punya warung di setiap posnya.

Setelah membayar tiket masuk pendakian sebesar Rp 10.000,- per orang, kami berkumpul di gerbang Cemoro Kandang untuk berdoa terlebih dahulu agar semua dilindungi oleh Allah Swt, pendakian dapat berlangung lancar dan kembali turun dengan keadaan sehat. Alhamdulillah perjalanan dapat saya nikmati walau ngos-ngosan. Saya sedikit terbantu dengan hasil olahraga jogging yang saya lakukan selama sebulan sebelum pendakian. Luka di kaki juga tidak terasa begitu sakit saat dibawa jalan walau debu tanah menyelip ke sela-sela perban. Saya tetap coba untuk membersihkan luka setiap kali kami berhenti mengambil napas.
Istirahat di Pos 2 Cemoro Kandang

Pendakian perdana saya cukup dimanja oleh teman-teman yang membantu saya naik ke atas gunung. Ketika mereka semua kelelahan karena membawa tas di punggung, saya justru kelelahan karena membawa diri saya sendiri. Hari itu cuma saya seorang yang tidak diberi tanggung jawab untuk membawa tas. Dua cewek lain, Diah dan Gita yang ikut mendaki dalam grup kami membawa tas di punggungnya, bahkan Gita membawa tas carrier yang menyamai tinggi kepalanya. Memang sih ini bukan pendakian pertama mereka ke Gunung Lawu. Walau teman-teman lainnya memaklumi keadaan saya, tapi di dalam hati saya harus bertekad, pendakian berikutnya gak boleh semanja ini.

Senja tiba ketika kami sampai di pos 3. Walau belum sampai puncak tapi kami tetap bisa menikmati indahnya sunset di Gunung Lawu. Nampaknya kami sudah cukup tinggi untuk bisa melihat lautan awan yang berada di bawah kami. Warna orange yang menenangkan hati serta bergumpal-gumpal lautan awan yang terus turun dari atas gunung menampakan eksotisme senja kala itu. Masha Allah… Rasa lelah lenyap seketika dan kami bersama senter sudah siap untuk melanjutkan pendakian di malam hari.
Menjelang senja
Dari pos 3 ke pos 4 adalah awal klimaks dari pendakian kami yang semula lancar menjadi sangat mencekam. Bermula dari Dewa, anggota grup kami yang masih SMA terserang maag, sedangkan tidak ada satu pun dari kami yang membawa obat maag. Untungnya seorang pendaki yang baru turun dari puncak menawarkan obat maag yang dibawanya. Namun sepertinya obat itu tidak banyak membantu karena kemudian Dewa muntah-muntah. Cukup dilema juga sih kalau terus membawa dia ke atas gunung, kami khawatir keadaannya memburuk. Namun kalau dibawa turun kembali, perjalanannya akan sangat jauh karena kami sudah berjalan lebih dari 6 jam. Kami tidak bisa mendirikan tenda karena di situ adalah jalur pendakian yang terhimpit oleh tebing dan jurang. Akhirnya dengan tekad dan niat yang kuat, Dewa perlahan berjalan menahan sakit di perutnya menuju pos 4.

Saya sendiri sudah sangat kelelahan sehingga lebih banyak beristirahat dibanding berjalan. Hal ini menyebabkan grup kami terbagi 2, Dewa yang sakit maag berjalan cepat menuju pos 4 agar dapat segera beristirahat, sedangkan saya berjalan lambat sambil bersusah payah melawan niatan untuk turun dari gunung. Walaupun begitu, lelah saya seakan menghilang setiap kali melihat ke atas dimana taburan bintang terlihat seperti pasir di pantai. Dari kejauhan juga tampak kelap-kelip lampu kota Solo. Hal ini memacu saya untuk terus mendaki ke puncak.
Milky Way terlihat jelas
Namun keindahan itu hanya bertahan hingga angin badai datang dari sisi gunung yang terbuka. Saat itu musim kemarau jadi jangan ditanya bagaimana dingin yang saya hadapi ditambah tiupan angin yang seolah-olah ingin melempar saya dari ketinggian. Yang saya inginkan saat itu hanya tiba di pos 4 dan masuk ke tempat yang terhindar dari tiupan angin badai. Alih-alih terhindar, saya justru hampir tersasar karena mencari jalur yang landai dan terhindar dari angin. Ternyata justru untuk sampai di pos 4, saya harus melewati jalan berbatu yang terjal di sisi gunung yang terbuka. Gak bisa saya bayangkan kalau tiba-tiba saya kehilangan pijakan dan jatuh langsung ke jurang atau bahkan dengan tiupan angin badai lalu saya terhempas ke jurang yang menganga di sisi kanan saya. Di situlah titik paling tinggi perjuangan saya dalam mendaki Gunung Lawu.

Setibanya di pos 4, sudah banyak pendaki yang membuka tendanya dan beristirahat. Warung yang tersedia juga sudah penuh ditiduri pendaki lainnya. Dan grup kami hanya membawa 1 tenda yang hanya bisa memuat 4-5 orang saja. Untungnya ada beberapa pendaki yang berbaik hati memberi saya dan cewek di grup kami tumpangan untuk tidur malam itu. Sedangkan cowok-cowok di grup kami semua campur aduk di dalam satu tenda yang sempit. Tenda menjadi suatu hal yang paling berharga malam itu, walau kami tidak sempat makan malam karena sulit menyalakan api dalam badai, tapi dengan hanya terhindar dari angin yang semalaman bersuara seperti sabetan sapu lidi besar, kami sudah sangat bersyukur.

17 Agustus 2015 jam 3 dini hari saya terbangun dan mendapati cover depan tenda yang saya tumpangi sudah terbang ditiup angin. Pantas saja rasanya sangat dingin hingga kaki saya hampir tidak berasa. Saya juga bisa melihat jelas langit malam itu masih menawarkan suguhan bintang-bintang yang indah melalui celah di cover yang terbang. Di saat yang sama dari tenda sebelah terdengar suara cekikikan cowok-cowok segrup yang masih bersenda gurau. Nampaknya mereka kesulitan tidur. Haha…

Badai sudah berlalu dan langit mulai terang. Kami mencoba mencari momen sunrise yang indah namun sepertinya kami berada di sisi gunung yang salah. Tapi tetap saja pagi itu menjadi the best moment in my life walau dingin masih menusuk hingga ke tulang. Beberapa pendaki sudah mulai bersiap dan melanjutkan perjalanannya ketika kami masih berjuang mendapatkan segumpal makanan untuk mengisi perut yang kosong dari tadi malam. Kami juga masih memperjuangkan Dewa agar pulih kembali dari maag-nya. Namun lagi-lagi dia memuntahkan makanannya.
 
Setelah mendapatkan cukup sinar matahari untuk menghangatkan diri serta foto-foto berlatar perbukitan di kaki Gunung Lawu, kami akhirnya melanjutkan pendakian kembali bersama grup lainnya. And guess what…? Sebelum sampai di puncak, grup kami kembali terbagi 2. Kami menunggu sisa grup yang tidak kunjung datang di pos 5 sambil beristirahat. Namun nampaknya sisa grup kami itu langsung tracking ke puncak melalui jalur lain. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan dengan sisa grup yang ada.
Menunggu Sisa Grup di Pos 5
Jalur pendakian ke pos 4 yang saya lalui malam sebelumnya ternyata belum ada apa-apanya. Dari pos 5 ke puncak, saya harus melawati jalan berbatu yang rawan gerak serta tanah berpasir yang licin. Jaraknya memang terlihat dekat tapi kalau tidak hati-hati saya bisa celaka. Akhirnya setelah setengah jam tracking, saya tiba di puncak tertinggi Gunung Lawu, Hargo Dumilah, 3.265 MDPL. It’s the best feeling ever! Kami sudah terlambat mengikuti upacara bendera karena saat itu waktu menunjukan tepat jam 12 siang. Meskipun matahari berada di atas ubun-ubun namun hawa dingin tetap terasa lebih menyengat.
 
Setelah foto-foto seperlunya kami turun mencari sisa grup kami ke warung Mbok Yem. Warung ini sangat terkenal karena hanya ada 1 di ketinggian gunung. Kami memprediksikan bahwa sisa grup yang terpencar akan beristirahat di sana terutama saat ada orang sakit yang ikut ke dalam rombongan. Namun sayangnya mereka tidak berada di sana karena warung Mbok Yem sedang kehabisan air untuk para pendaki.

Sebelum kami melanjutkan pencarian, Gani sempat berziarah ke Hargo Dalem, sebuah makam yang berada di belakang warung. Memang selain menikmati keindahan Gunung Lawu, beberapa pendaki memiliki tujuan untuk berziarah ke makam-makam yang ada di sana. Maka dari itu untuk wanita yang sedang datang bulan tidak disarankan untuk ikut mendaki karena Gunung Lawu masih sarat akan mistis. Saya yang saat itu sedang kedatangan “tamu” pun sangat berhati-hati mengunjungi setiap bagian di gunung tersebut.


Sendang Drajat
Akhirnya setelah bersusah payah mencari grup yang terpisah, kami dipertemukan kembali di warung yang berada di Sendang Drajat. Dewa yang tampak masih kesakitan sedang beristirahat saat itu. Kami pun memesan makanan berupa nasi, sambal dan telor rebus dari warung sebagai makan siang kami. Kami sempat terlelap hingga sore dan kemudian melanjutkan perjalanan pada pukul 14.00. Dewa tetap berjalan sambil dipapah oleh anggota grup kami dan beristirahat jika tidak kuat.

Sebenarnya turun gunung melalui jalur Cemoro Sewu tidak dianjurkan terutama bila mempunyai kaki yang tidak terlatih seperti saya. Walau terlihat mudah dan gak perlu ngos-ngosan lagi dalam mengambil tiap pijakan, kami tetap harus berhati-hati karena jarak pijakannya tinggi-tinggi dan terbuat dari bebatuan keras. Terutama dari pos 4 ke pos 3. Ini sangat rawan untuk engkel kaki jika terus dipaksakan menahan berat tubuh saat turun. Yup, dan hal itulah yang terjadi pada saya ketika sudah berada di pos 3.

Senja mulai menghampiri ketika kami sampai di pos 3 Cemoro Sewu. Pendaki lain menawari kami wedang jahe yang terlihat sangat menyegarkan kala itu. Benar saja, Dewa langsung berangsur membaik setelah meminum 1 gelas wedang jahe. Saya juga bertemu dengan Jalak Lawu yang mengikuti tiap kami berjalan. Kami pun melanjutkan perjalanan kembali untuk mengejar waktu yang tertinggal. Naas bagi saya karena engkel kiri saya terasa sangat sakit setelah beberapa jam digunakan untuk menuruni tangga dari pos 4 ke pos 2. Saya terpaksa dipapah Gani di sisa perjalanan itu.

Jalak Lawu di semak-semak
Kami sempat beristirahat cukup lama di pos 1, bahkan hampir berniat bermalam di tempat itu karena mempertimbangkan keadaan saya yang sudah gak kuat. Selain itu kami juga menunggu jemputan motor yang ditawarkan oleh seorang tim SAR yang sempat bertemu dengan kami saat sama-sama berjalan turun. Orang tersebut sudah jauh di depan kami, dan kami pikir dia akan langsung mengirim jemputan untuk orang yang sakit. Namun udara terlalu dingin untuk diam menunggu, bahkan api unggun yang berada di sebelah saya sama sekali tidak banyak membantu.

Akhirnya dengan tekad kuat, saya bangun dan mulai berjalan kembali. Bagi saya saat itu lebih baik jalan kesakitan dibandingkan harus menunggu bantuan yang gak jelas datangnya dalam udara yang dingin. Dengan berjalan badan saya terasa agak hangat. Sebelum pergi, ada 2 pendaki yang bergabung bersama kami meminta kehangatan dari api unggun yang kami buat. Salah satunya adalah ibu-ibu paruh baya yang sempat saya lewati dalam perjalanan turun. Ternyata mereka ditinggal rombongannya dan sudah tidak kuat berjalan. Mereka berniat untuk menginap malam itu di pos 1 yang dingin.

Dalam perjalanan turun dari pos 1 ke gerbang, jalur yang kami lewati bukan berupa tangga lagi. Jalurnya lebih landai tapi masih di dominasi bebatuan. Ketika kami sudah setengah jam berjalan, bala bantuan datang dengan motor. Namun sayang itu bukan buat saya ataupun Dewa, tapi buat 2 pendaki yang ada di pos 1. Dengan agak nyesek karena tim SAR-nya PHP, saya tetap tabah berjalan sambil dipapah Gani hingga sampai di gerbang utama.

Perasaan lelah campur haru bahagia serta masih tidak percaya ketika saya membalikan badan melihat jalur pendakian yang baru saya lewati. Waktu menunjukan pukul 22.30 dan titik awal pendakian terlihat jauh lebih sepi dari ketika saya sampai sebelum mendaki. Saya terus menatap jalur itu sambil berpikir, ini mimpi? Sungguh rahmat dari Allah Swt. yang membuat saya bisa melewati setiap detik keberadaan saya di atas gunung. Saya dapat kembali ke rumah tanpa kekurangan dan menceritakan pengalaman ini ke semua orang. Alhamdulillah… Semoga lain waktu dapat mencicipi pengalaman di atas gunung lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar