Magetan adalah sebuah kota
yang berada di Provinsi Jawa Timur. Letaknya berada di kaki Gunung Lawu yang
berbatasan dengan Solo, Jawa Tengah. Kota ini lah yang jadi tujuan saya pada
Agustus 2015 lalu untuk melepas penat dari hingar bingar perkotaan. Selain itu
ada maksud lain yang lebih khusus dalam kunjungan saya kali ini, yakni bertemu
dengan embah yang dari lebaran tahun lalu nanyain cucunya terus supaya saya
datang ke desa. Maksudnya cucunya dia itu Gani yang sekarang cemiwiw sama saya.
Hahahahaha… *yaelah.
Namun satu hari sebelum
keberangkatan, naas kaki kanan saya dicium ban motor orang saat sedang berputar
arah di jalanan yang padat. Cukup lumayan mengiris hati sih mengingat salah
satu rencana liburan saya adalah naik ke puncak Gunung Lawu. Walau hanya lecet
tapi tetap saja menyulitkan saya untuk berjalan normal.
Sabtu, 15 Agustus 2015 pukul
15.30 WIB, saya berangkat bersama Gani dari Pool Bus Harapan Jaya, Bulak Kapal,
Bekasi menuju Magetan. Ini adalah pengalaman pertama saya pulang kampung
menggunakan bus, dan not bad lah… Kecuali AC yang terlalu dingin dan makan
malam yang terlalu hambar, saya tidak bisa complain tentang apapun lagi.
Setelah perjalanan 1 malam, akhirnya saya sampai di Magetan jam 7 pagi. Dengan
dijemput mobil pribadi oleh Mahar, sepupu Gani yang ikut dalam pendakian nanti, saya langsung diantar menuju ke kediaman embah
di Desa Taji.
Rumah embah ternyata luas, berisi
dapur khas pedesaan dengan tungkunya, serta 5 kamar tidur, 2 ruang tv, dan 1
kamar mandi. Halaman depan rumah juga luas, mampu menampung 4 mobil dan ada
kolam ikan yang dibuat embah dari terpal. Di seberang jalan terhampar kebun
yang luas tempat embah biasa bekerja dan juga sungai yang masih jernih. Coba
jelaskan, bagian mana dari rumah ndeso ini yang gak bikin betah? Apalagi
ditinggali oleh orang-orang yang ramaaaaaaaah sekali. Dengan tinggal di rumah
aja, saya sudah terhibur.
Suasana di Desa Taji |
Rencana mendaki gunung memang
sudah gencar-gencarnya diperbincangkan jauh hari sebelum kedatangan saya di
Magetan. Tadinya saya mengurungkan niat untuk ikut mendaki karena luka di kaki
saya masih segar dan hari itu adalah hari kedua saya kedatangan “tamu”. Seems
complete right?! Tapi setelah dirundingkan lebih dulu dengan teman-teman
mendaki lainnya dari Desa Taji dan yang paling penting saya mendapat restu dari orang tua,
saya pun mantap untuk melakukan pendakian perdana saya.
Perlengkapan, kondisi tubuh,
cuaca dan kondisi alam adalah beberapa faktor yang mempengaruhi orang mendaki
gunung. Tapi bagi saya, doa, niat dan restu dari orang tua adalah faktor paling
besar dalam hal ini. Jangan pernah berpikir sombong apalagi berkata dan
bersikap tidak sopan di tempat yang asing dan banyak pantangannya seperti hutan
dan gunung. Saya percaya hal ini, lah wong gak sopan sama sesama manusia aja
bisa berabe apalagi sama makhluk yang gak terlihat? Attitude is important.
Minggu, 16 Agustus 2015, pukul
10.00, kami bersembilan berangkat dari Desa Taji menggunakan motor secara
beriringan. Butuh waktu 30-45 menit hingga tiba di titik awal pendakian. Ini
cukup unik karena saya mendapati 2 jalur pendakian Gunung Lawu yang terpisah
beberapa meter di daerah ini. Cemoro Sewu yang masuk ke daerah Jawa Timur dan
Cemoro Kandang yang masuk ke daerah Jawa Tengah. Perbedaan kedua jalur ini
terletak pada medan pendakian dan waktu tempuhnya. Waktu yang dibutuhkan untuk
mendaki melalui Cemoro Sewu sekitar 6 jam dengan jalur berupa batu bersusun menyerupai
tangga yang cukup tinggi. Sedangkan jalur Cemoro Kandang berupa tanah berpasir
yang relatif landai yang menyebabkan waktu tempuh lebih lama dibandingkan
dengan Cemoro Sewu.
Mempertimbangkan kaki saya yang
terluka, teman-teman lain akhirnya mengganti rencana pendakian yang semula
melalui Cemoro Sewu menjadi Cemoro Kandang. Selain itu Cemoro Sewu terlihat sudah
terlalu penuh oleh para pendaki yang akan naik hari itu juga untuk melakukan
upacara kemerdekaan 17 Agustus esoknya yang ditayangkan live di stasiun tv.
Cemoro Sewu memang jalur favorit para pendaki karena lebih cepat dan punya
warung di setiap posnya.
Setelah membayar tiket masuk pendakian sebesar Rp 10.000,- per orang, kami berkumpul di gerbang Cemoro Kandang untuk berdoa terlebih dahulu agar semua dilindungi oleh Allah Swt, pendakian dapat berlangung lancar dan kembali turun dengan keadaan sehat. Alhamdulillah perjalanan dapat saya nikmati walau ngos-ngosan. Saya sedikit terbantu dengan hasil olahraga jogging yang saya lakukan selama sebulan sebelum pendakian. Luka di kaki juga tidak terasa begitu sakit saat dibawa jalan walau debu tanah menyelip ke sela-sela perban. Saya tetap coba untuk membersihkan luka setiap kali kami berhenti mengambil napas.
Istirahat di Pos 2 Cemoro Kandang |
Pendakian perdana saya cukup dimanja oleh teman-teman yang membantu saya naik ke atas gunung. Ketika mereka semua kelelahan karena membawa tas di punggung, saya justru kelelahan karena membawa diri saya sendiri. Hari itu cuma saya seorang yang tidak diberi tanggung jawab untuk membawa tas. Dua cewek lain, Diah dan Gita yang ikut mendaki dalam grup kami membawa tas di punggungnya, bahkan Gita membawa tas carrier yang menyamai tinggi kepalanya. Memang sih ini bukan pendakian pertama mereka ke Gunung Lawu. Walau teman-teman lainnya memaklumi keadaan saya, tapi di dalam hati saya harus bertekad, pendakian berikutnya gak boleh semanja ini.
Senja tiba ketika kami sampai di
pos 3. Walau belum sampai puncak tapi kami tetap bisa menikmati indahnya sunset
di Gunung Lawu. Nampaknya kami sudah cukup tinggi untuk bisa melihat lautan
awan yang berada di bawah kami. Warna orange yang menenangkan hati serta
bergumpal-gumpal lautan awan yang terus turun dari atas gunung menampakan
eksotisme senja kala itu. Masha Allah… Rasa lelah lenyap seketika dan kami bersama
senter sudah siap untuk melanjutkan pendakian di malam hari.
Menjelang senja |
Dari pos 3 ke pos 4 adalah awal
klimaks dari pendakian kami yang semula lancar menjadi sangat mencekam. Bermula
dari Dewa, anggota grup kami yang masih SMA terserang maag, sedangkan tidak ada
satu pun dari kami yang membawa obat maag. Untungnya seorang pendaki yang baru
turun dari puncak menawarkan obat maag yang dibawanya. Namun sepertinya obat
itu tidak banyak membantu karena kemudian Dewa muntah-muntah. Cukup dilema juga
sih kalau terus membawa dia ke atas gunung, kami khawatir keadaannya memburuk.
Namun kalau dibawa turun kembali, perjalanannya akan sangat jauh karena kami
sudah berjalan lebih dari 6 jam. Kami tidak bisa mendirikan tenda karena di
situ adalah jalur pendakian yang terhimpit oleh tebing dan jurang. Akhirnya
dengan tekad dan niat yang kuat, Dewa perlahan berjalan menahan sakit di
perutnya menuju pos 4.
Saya sendiri sudah sangat
kelelahan sehingga lebih banyak beristirahat dibanding berjalan. Hal ini
menyebabkan grup kami terbagi 2, Dewa yang sakit maag berjalan cepat menuju pos
4 agar dapat segera beristirahat, sedangkan saya berjalan lambat sambil bersusah
payah melawan niatan untuk turun dari gunung. Walaupun begitu, lelah saya
seakan menghilang setiap kali melihat ke atas dimana taburan bintang terlihat
seperti pasir di pantai. Dari kejauhan juga tampak kelap-kelip lampu kota Solo.
Hal ini memacu saya untuk terus mendaki ke puncak.
Milky Way terlihat jelas |
Namun keindahan itu hanya
bertahan hingga angin badai datang dari sisi gunung yang terbuka. Saat itu
musim kemarau jadi jangan ditanya bagaimana dingin yang saya hadapi ditambah
tiupan angin yang seolah-olah ingin melempar saya dari ketinggian. Yang saya
inginkan saat itu hanya tiba di pos 4 dan masuk ke tempat yang terhindar dari
tiupan angin badai. Alih-alih terhindar, saya justru hampir tersasar karena
mencari jalur yang landai dan terhindar dari angin. Ternyata justru untuk
sampai di pos 4, saya harus melewati jalan berbatu yang terjal di sisi gunung
yang terbuka. Gak bisa saya bayangkan kalau tiba-tiba saya kehilangan pijakan
dan jatuh langsung ke jurang atau bahkan dengan tiupan angin badai lalu saya
terhempas ke jurang yang menganga di sisi kanan saya. Di situlah titik paling
tinggi perjuangan saya dalam mendaki Gunung Lawu.
Setibanya di pos 4, sudah banyak
pendaki yang membuka tendanya dan beristirahat. Warung yang tersedia juga sudah
penuh ditiduri pendaki lainnya. Dan grup kami hanya membawa 1 tenda yang hanya
bisa memuat 4-5 orang saja. Untungnya ada beberapa pendaki yang berbaik hati
memberi saya dan cewek di grup kami tumpangan untuk tidur malam itu. Sedangkan
cowok-cowok di grup kami semua campur aduk di dalam satu tenda yang sempit.
Tenda menjadi suatu hal yang paling berharga malam itu, walau kami tidak sempat
makan malam karena sulit menyalakan api dalam badai, tapi dengan hanya
terhindar dari angin yang semalaman bersuara seperti sabetan sapu lidi besar,
kami sudah sangat bersyukur.
17 Agustus 2015 jam 3 dini hari
saya terbangun dan mendapati cover depan tenda yang saya tumpangi sudah terbang
ditiup angin. Pantas saja rasanya sangat dingin hingga kaki saya hampir tidak
berasa. Saya juga bisa melihat jelas langit malam itu masih menawarkan suguhan
bintang-bintang yang indah melalui celah di cover yang terbang. Di saat yang
sama dari tenda sebelah terdengar suara cekikikan cowok-cowok segrup yang masih
bersenda gurau. Nampaknya mereka kesulitan tidur. Haha…
Badai sudah berlalu dan langit
mulai terang. Kami mencoba mencari momen sunrise yang indah namun sepertinya
kami berada di sisi gunung yang salah. Tapi tetap saja pagi itu menjadi the
best moment in my life walau dingin masih menusuk hingga ke tulang. Beberapa
pendaki sudah mulai bersiap dan melanjutkan perjalanannya ketika kami masih
berjuang mendapatkan segumpal makanan untuk mengisi perut yang kosong dari tadi
malam. Kami juga masih memperjuangkan Dewa agar pulih kembali dari maag-nya.
Namun lagi-lagi dia memuntahkan makanannya.
Setelah mendapatkan cukup sinar
matahari untuk menghangatkan diri serta foto-foto berlatar perbukitan di
kaki Gunung Lawu, kami akhirnya melanjutkan pendakian kembali bersama grup
lainnya. And guess what…? Sebelum sampai di puncak, grup kami kembali terbagi
2. Kami menunggu sisa grup yang tidak kunjung datang di pos 5 sambil
beristirahat. Namun nampaknya sisa grup kami itu langsung tracking ke puncak
melalui jalur lain. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan dengan sisa grup yang
ada.
Menunggu Sisa Grup di Pos 5 |
Jalur pendakian ke pos 4 yang
saya lalui malam sebelumnya ternyata belum ada apa-apanya. Dari pos 5 ke puncak,
saya harus melawati jalan berbatu yang rawan gerak serta tanah berpasir yang
licin. Jaraknya memang terlihat dekat tapi kalau tidak hati-hati saya bisa
celaka. Akhirnya setelah setengah jam tracking, saya tiba di puncak tertinggi Gunung
Lawu, Hargo Dumilah, 3.265 MDPL. It’s the best feeling ever! Kami sudah terlambat
mengikuti upacara bendera karena saat itu waktu menunjukan tepat jam 12 siang.
Meskipun matahari berada di atas ubun-ubun namun hawa dingin tetap terasa lebih
menyengat.
Setelah foto-foto seperlunya kami
turun mencari sisa grup kami ke warung Mbok Yem. Warung ini sangat terkenal
karena hanya ada 1 di ketinggian gunung. Kami memprediksikan bahwa sisa grup
yang terpencar akan beristirahat di sana terutama saat ada orang sakit yang
ikut ke dalam rombongan. Namun sayangnya mereka tidak berada di sana karena
warung Mbok Yem sedang kehabisan air untuk para pendaki.
Sebelum kami melanjutkan pencarian,
Gani sempat berziarah ke Hargo Dalem, sebuah makam yang berada di belakang
warung. Memang selain menikmati keindahan Gunung Lawu, beberapa pendaki
memiliki tujuan untuk berziarah ke makam-makam yang ada di sana. Maka dari itu
untuk wanita yang sedang datang bulan tidak disarankan untuk ikut mendaki
karena Gunung Lawu masih sarat akan mistis. Saya yang saat itu sedang
kedatangan “tamu” pun sangat berhati-hati mengunjungi setiap bagian di gunung
tersebut.
Sendang Drajat |
Sebenarnya turun gunung melalui
jalur Cemoro Sewu tidak dianjurkan terutama bila mempunyai kaki yang tidak
terlatih seperti saya. Walau terlihat mudah dan gak perlu ngos-ngosan lagi
dalam mengambil tiap pijakan, kami tetap harus berhati-hati karena jarak
pijakannya tinggi-tinggi dan terbuat dari bebatuan keras. Terutama dari pos 4 ke
pos 3. Ini sangat rawan untuk engkel kaki jika terus dipaksakan menahan berat
tubuh saat turun. Yup, dan hal itulah yang terjadi pada saya ketika sudah
berada di pos 3.
Senja mulai menghampiri ketika
kami sampai di pos 3 Cemoro Sewu. Pendaki lain menawari kami wedang jahe yang
terlihat sangat menyegarkan kala itu. Benar saja, Dewa langsung berangsur
membaik setelah meminum 1 gelas wedang jahe. Saya juga bertemu dengan Jalak Lawu yang mengikuti tiap kami berjalan. Kami pun melanjutkan perjalanan
kembali untuk mengejar waktu yang tertinggal. Naas bagi saya karena engkel kiri
saya terasa sangat sakit setelah beberapa jam digunakan untuk menuruni tangga
dari pos 4 ke pos 2. Saya terpaksa dipapah Gani di sisa perjalanan itu.
Jalak Lawu di semak-semak |
Akhirnya dengan tekad kuat, saya
bangun dan mulai berjalan kembali. Bagi saya saat itu lebih baik jalan
kesakitan dibandingkan harus menunggu bantuan yang gak jelas datangnya dalam
udara yang dingin. Dengan berjalan badan saya terasa agak hangat. Sebelum
pergi, ada 2 pendaki yang bergabung bersama kami meminta kehangatan dari api
unggun yang kami buat. Salah satunya adalah ibu-ibu paruh baya yang sempat saya
lewati dalam perjalanan turun. Ternyata mereka ditinggal rombongannya dan sudah
tidak kuat berjalan. Mereka berniat untuk menginap malam itu di pos 1 yang
dingin.
Dalam perjalanan turun dari pos 1
ke gerbang, jalur yang kami lewati bukan berupa tangga lagi. Jalurnya lebih
landai tapi masih di dominasi bebatuan. Ketika kami sudah setengah jam
berjalan, bala bantuan datang dengan motor. Namun sayang itu bukan buat saya
ataupun Dewa, tapi buat 2 pendaki yang ada di pos 1. Dengan agak nyesek karena
tim SAR-nya PHP, saya tetap tabah berjalan sambil dipapah Gani hingga sampai di
gerbang utama.
Perasaan lelah campur haru
bahagia serta masih tidak percaya ketika saya membalikan badan melihat jalur
pendakian yang baru saya lewati. Waktu menunjukan pukul 22.30 dan titik awal
pendakian terlihat jauh lebih sepi dari ketika saya sampai sebelum mendaki. Saya
terus menatap jalur itu sambil berpikir, ini mimpi? Sungguh rahmat dari Allah
Swt. yang membuat saya bisa melewati setiap detik keberadaan saya di atas
gunung. Saya dapat kembali ke rumah tanpa kekurangan dan menceritakan
pengalaman ini ke semua orang. Alhamdulillah… Semoga lain waktu dapat mencicipi
pengalaman di atas gunung lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar